Pengaturan Perlindungan Karya Cipta Musik di Indonesia
Perkembangan perdagangan internasional juga memunculkan HKI sebagai issu yang penting yang dipakai sebagai bagian dari instrumen perdagangan oleh negara-negara maju untuk memaksakan kehendaknya kepada negara berkembang dengan memasukkan HKI sebagai bagian tak terpisahkan dalam Perundingan Putaran Uruguay yang ditandai dengan terbentuknya the World Trade Organisation yang dalam Annex atau lampirannya memuat TRIPs (Trade Related Aspects on Intellectual Property Rights and Counterfeit Goods). Pemerintah Indonesia yang meratifikasi perjanjian WTO maka Indonesia juga harus meratifikasi Konvensi Bern karena konvensi ini merupakan salah satu dari tiga konvensi yang wajib diratifikasi oleh negara peserta WTO. KEPPRES no 18/1997 tentang ratifikasi Konvensi Bern pada tanggal 7 mei 1997 menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan UU hak cipta sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Konvensi Bern.
UU 19/2002 tentang Hak Cipta dalam pasal 12 menyatakan :
(1) Dalam undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang mencakup:
- buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan dan semua karya tulis lain;
- ceramah, kuliah, pidato, dan semua ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
- alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
- lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
- drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim;
- seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan;
- arsitekrur;
- peta;
- seni batik;
- fotografi;
- sinematografi;
- terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan
Perluasan obyek perlindungan hak cipta dalam undang-undang ini adalah diakuinya hak cipta atas data base yang sebelumnya tidak pernah diatur dalam undang-undang hak cipta sebelumnya. Pasal 12 huruf d UU 19/2002 tentang hak cipta memberikan definisi yang umum dan tidak membedakan jenis musik baik tradisional maupun bukan tradisional diakui memiliki perlindungan hukum yang sama. Dengan demikian apabila karya cipta musik indilabel dipandang sebagai aliran ataupun konsep bermusik yang bebas dari pengaruh pemilik modal, maka secara umum karya cipta musik indilabel masuk dalam kategori obyek perlindungan hak cipta sesuai dengan ketentuan pasal 12 huruf d UU 19/2002.
Pasal ini walaupun sudah memadai karena sesuai dengan ketentuan Konvensi
Bern dan TRIPs, ternyata masih meninggalkan persoalan yang masih bisa diperdebatkan terutama berkaitan dengan pengalihwujudan karya cipta. Dalam penjelasan pasal 12 huruf l menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengalihwujudan karya cipta adalah pengubahan bentuk , misalnya dari patung menjadi lukisan, cerita roman menjadi drama dan novel menjadi film. Penjelasan pasal 12 huruf l tidak memberikan jawaban atas perkembangan teknologi digital dan informasi teknologi yang dapat merubah karya musik dari format CD (compact Disc) menjadi MP3(MPEG1 layer 3),Winamp dan Windows Media Player yang memberikan peluang tindak pidana hak cipta atas karya musik (pembajakan) menjadi lebih mudah dan dengan kualitas yang sama baiknya dengan karya musik aslinya.
UU 19/2002 menyatakan dengan jelas bahwa pencipta atau pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi atas pelanggaran hak ekonomi dan hak moral, memohon penyitaan, gugatan penyerahan kembali penghasilan yang diperoleh dari tindak pidana hak cipta14. UU 19/2002 tentang hak cipta telah memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi karya musik, termasuk karya musik indilabel di Indonesia. Namun demikian, undang-undang tersebut belum mengakomodasi kemajuan-kemajuan teknologi yang juga mempermudah terjadinya tindak pidana hak cipta, melalui pengalihwujudan dan penyebaran karya cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar