Beberapa waktu lalu, BK-Sipil Persatuan Insinyur Indonesia menyelenggarakan diskusi terbatas. Hadir sebagai pembicara adalah Dr. Ir. Hermanto Dardak (Wakil Menteri PU), Dr. Ir. Bambang Guritno (Kepala BPKSDM Kementerian PU), Ir. Bambang Sutrisno (IAI & Komisi V DPR-RI), Ir. Nurhudi (Staff ahli Badan Legislatif DPR-RI), Ir. Steven Budisusetija (Pelaku Jasa Konstruksi), dan Dr. Ir. Danang Parikesit sebagai moderator.
Dalam diskusi di sekretariat PII Halimun ini dinyatakan bahwa perkembangan sektor konstruksi di Indonesia sebenarnya sangat menggembirakan. Selama 6 tahun terakhir, tercatat pertumbuhannya mencapai 6% pertahun. Namun ada kekhawatiran pertumbuhan ini tidak bisa direspon dengan baik dari sisi peralatan maupun tenaga profesional. Kekhawatiran yang sangat beralasan, mengingat adanya distorsi di dalam pasar tenaga ahli konstruksi. Khusus untuk tenaga konstruksi, Dr. Ir. Danang Parikesit juga mengingatkan fakta tentang penurunan minat calon mahasiswa yang mengambil bidang studi sipil dan arsitektur. Sangat kontras dengan bidang lain misalnya kedokteran atau ekonomi.
Permasalahan di depan mata lainnya adalah pasar bebas perdagangan jasa konstruksi. Globalisasi menghapus proteksi ketenaga-kerjaan atas dasar kewarganegaraan. Namun proteksi berdasarkan saringan kompetensi boleh dan harus dilakukan. Karenanya jika ingin melindungi pasar kerjanya dari persaingan internasional yang tidak fair, Indonesia harus memberlakukan peraturan-peraturan yang mampu memperbaiki distorsi yang terjadi, sekaligus juga menerapkan sistem sertifikasi profesional berdasarkan bakuan kompetensi berkesetaraan internasional (competency based professional certification).
Ketua BK-Sipil PII yang juga wakil menteri Pekerjaan Umum, Dr. Ir. Hermanto Dardak mengatakan bahwa muara semua pengaturan jasa konstruksi adalah untuk menghasilkan kualitas konstruksi yang baik dan pada gilirannya akan memicu pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan bangsa. Untuk itu sektor ini perlu mendapat perhatian seksama dari para perencana, pelaksana dan kekuatan kritis masyarakat pemakai produk jasa konstruksi.
“Jasa konstruksi di atur untuk melindungi kepentingan masyarakat, lingkungan, budaya, peradaban dan perekonomian nasional,” ungkap Bambang Guritno, ”Ada tiga pilar yang di atur yaitu pelaku, proses dan produknya. Kita membutuhkan kapasitas, kompetensi dan daya saing dari para pelaku jasa konstruksi. Kita membutuhkan produk yang bermanfaat, berkualitas dan berkesinambungan. Karenanya kita butuh proses yang efisien, efektif, kreatif, inovatif dan berkeadilan. Good corporate government,” katanya.
“Karenanya kebutuhan adanya UU Jasa Konstruksi yang baru ini sangat diperlukan. Undang-undang ini diharapkan mampu menstimulasi pertumbuhan konstruksi Indonesia yang kokoh dan berdayasaing tinggi, baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. “ kata Nurhudi. UU Jasa konstruksi sebelumnya hanya berbicara pada perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Padahal jasa konstruksi memiliki cakupan makna jauh lebih luas, mulai dari pengkajian, perencanaan, perancangan, pelaksanaan, operasi, pemeliharaan, rehabilitasi sampai pembongkaran. Menurut Nurhudi undang-undang sebelumnya juga tidak detail sehingga mengundang penafsiran beragam.
Bambang Sutrisno dari komisi V DPR RI menyatakan keheranannya dengan kondisi konstruksi di Indonesia saat ini.“Guru, dosen, dokter, perawat sampai pembantu rumah tangga punya undang-undangnya sendiri. Mengapa konstruksi tidak punya undang-undangnya sendiri alias tidak punya aturan?” Kondisi ini membuat wilayah konstruksi di Indonesia ibarat belantara yang sangat menguntungkan pelaku konstruksi luar negeri. Ironisnya sektor konstruksi adalah sektor yang memiliki biaya terbesar.
“Undang-undang sebelumnya sangat demokratis. Akibatnya membuka ruang bagi siapa saja untuk membuka kumpulan profesi dan badan usaha yang akhirnya tidak terkontrol dan tidak memiliki standar sama. Tidak heran jika kemudian muncul anggapan sertifikasi tidak lebih dari semacam ‘jual kertas’ saja.” Banyak temuan hasil pekerjaan konstruksi yang kualitasnya di bawah standar padahal dikerjakan oleh perusahaan yang sama. Karenanya menurutnya, semakin cepat undang-undang jasa konstruksi ini direalisasikan akan menjadi lebih baik.
“Cepat tetapi tidak asal bikin. Karena kita tidak ingin setelah undang-undang ini selesai dan disyahkan, baru satu tahun sudah masuk MK untuk direvisi.”Karenanya Bambang mengundang partisipasi semua pihak, karena undang-undang ini memiliki keterkaitan erat dengan berbagai sektor, untuk ikut aktif berperan serta memberikan masukan. “PII sangat kami harap untuk memberikan makalah yang nantinya untuk semakin melengkapi undang-undang ini.”
Menurut Kepala BPKSMD PU, materi usulan untuk undang-undang usaha jasa dan penyelenggaraan konstruksi baru meliputi rekonstruksi paradigma, restrukturisasi lingkup pengaturan, redefinisi jasa konstruksi, fleksibilitas pengaturan transaksi jasa konstruksi, pendekatan tentang kegagalan, reklasifikasi usaha jasa kontruksi, revisi kompetensi, pengaturan badan usaha asing, rekonfigurasi tata kelola yaitu pembinaan dan pengembangan, pendekatan institusi pembina jasa konstruksi, rekonsepsi peran masyarakat, dan pendekatan pembinaan jasa konstruksi. Dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi yang baru keharusan bagi konsultan dan kontraktor untuk menggunakan tenaga profesional yang bersertifikat harus menjadi syarat mutlak. Sehingga ke depan insinyur yang ingin bekerja terutama di sektor publik, wajib memiliki sertifikat profesi.
Ambil contoh di Amerika Serikat, seorang fresh graduate mesti menjalani fundamental engineering examination. Untuk memastikan bahwa si insinyur betul-betul mengerti dengan teori dasar disiplin ilmu dan spesialisasinya.Menurut Steven Budisusetija selain pendidikan dan uji kompetensi seharusnyalah jika pengalaman kerja yang cukup menjadi dasar sertifikasi. Hal ini untuk menjamin kompetensi kerja nantinya. Hal ini wajib dilakukan karena pekerjaan insinyur bukan semata masalah keteknikan, melainkan juga bagaimana menerapkan unsur keselamatan, keindahan, keseimbangan, keteraturan dan seterusnya. Sehingga sertifikasi bagi insinyur profesional berarti memberikan label bahwa dia mampu dan bisa diandalkan untuk mengerjakan suatu proyek, baik dari segi teknis, ekonomis, estetika dan moral.
Steven Budisusetija juga mempertanyakan apakah sertifikasi bisa menjamin mutu insinyur sementara di Indonesia banyak asosiasi yang juga menyelenggarakan program sertifikasi. “Tenaga kerja konstruksi profesional seperti apa yang kita inginkan,” katanya. Pada hakikatnya sertifikasi keprofesionalan adalah suatu quality assurance system untuk melindungi masyarakat dari kinerja orang yang tidak kompeten. Jangan sampai output yang dihasilkan nantinya justru yang membahayakan keselamatan, tidak estetis, tidak ramah lingkungan dan seterusnya.
Selain itu Steven juga menyoroti kesempatan untuk ‘bertanding’ bagi insinyur profesional Indonesia. “Kapan mau bertanding kalau saat ikut tender, baru prakualifikasi saja sudah kalah karena masalah sertifikat.” Melihat permasalahan konstruksi sepuluh tahun belakangan yang semakin beragam dan perkembangannya yang sangat pesat serta hubungan tak terpisahkan antara insinyur dan konstruksi, realisasi UU Jasa Konstruksi dan undang-undang keinsinyuran perlu disegerakan. Targetnya jelas Indonesia memiliki tata kelola konstruksi yang baik menuju konstruksi yang berkelanjutan.